Pertemuan denganmu tak sengaja. Hanya ketika kau dan aku duduk bersama dalam ruangan yang sama. Saling memandang, saling tersenyum dan akhirnya kau memberanikan diri untuk mendekatiku dan berkenalan denganku. Tak lama kemudian, kita sudah saling bercerita, saling tertawa dan akhirnya bergandengan tangan.
Kau memintaku untuk menemanimu menjalani hari-hari yang memang tak mudah. Tapi kita saling menguatkan. Bersama-sama. Jari-jari kita saling bertautan, tak peduli apakah jalan itu begitu terjal atau begitu licin. Tangan kita tetap bertautan. Tetap tersenyum satu sama lain. Dan untukku, bersamamu, berada didekatmu begitu nyaman, membahagiakan. Inilah bahagiaku. Bersamamu.
Sehari dua, kau masih tetap bersamamu, masih menatapku dengan cintamu, masih menautkan jari-jarimu pada jari-jariku. Dan aku masih berbahagia bersamamu. Laki-laki yang sepertinya ditakdirkan untukku. Untuk menjadi belahan hatiku, untuk menjadi penopang tulang rusukku.
Tapi kemudian, entah kenapa. Aku merasa senyum itu tak lagi hanya untukku. Cinta itu tak lagi utuh untukku. Dan akhirnya aku sadar, bahwa kau juga menautkan jari-jarimu pada yang lain. Dengan dia, yang begitu berbeda dariku. Dan pertanyaan kenapa yang kuajukan, tak pernah kau jawab. Kau terus saja berkilah bahwa tak ada yang istimewa antara kau dengannya. Tapi aku bukan bocah 5 tahun yang bisa ditenangkan hanya dengan es krim vanilla. Aku perempuan dewasa yang bisa merasakan jika sesuatu yang lain terjadi pada belahan hatinya. Padamu, lelakiku.
Pertanyaan demi pertanyaan hanya menggantung begitu saja. Pengakuan tak juga meluncur dari mulutmu. Tapi, kau juga tak berhenti mendekatinya. Malah semakin dekat. Jika diantara aku dan dia akhirnya kau memilih dia, tak apa. Karena untukku, jika bahagia itu adalah dengannya, maka raihlah kebahagiaan itu. Aku hanya khawatir dengan hatiku, yang telah aku serahkan utuh untukmu. Sakitnya begitu menusuk, dan belakangan aku merasa bahwa sakit ini kian meraja.
Tapi, demi Tuhan. Aku rela jika hanya dengannya kau bisa meraih bahagiamu. Aku rela jika dengannya aku bisa melihat senyummu seperti dulu. Aku rela menyerahkanmu padanya. Perempuan yang telah merebut lelakiku.
Berbahagialah kalian, karena aku juga akan berbahagia demi kalian.
Aku yang mencintaimu
Lelakinya membuka kotak merah muda bergambar hati setelah usai membaca surat yang datang bersama kotak merah muda itu sebagai kado pernikahannya. Dari perempuan yang pernah mengisi hatinya. Perempuan yang membuatnya menangis ketika akhirnya dia tau, bahwa dia telah memilih orang yang salah. Bahwa dia tak pernah mencintai perempuan yang sekarang ada disebelahnya. Perempuan yang dengan pesona palsunya telah membuatnya melupakan belahan jiwanya.
Kembali dia menekuri tulisan indah itu.
PS : Aku telah menitipkan hatiku padamu, sayangku. Berbahagialah.
Dengan gemetar, lelakinya membuka kotak merah muda itu. Perlahan-lahan. Perlahan-lahan. Dan akhirnya dia menemukan hadiahnya. Sebuah hati yang masih berlumuran darah segar. Hati kekasihnya yang dititipkan padanya.
Seperti tiga segi sebuah segitiga, yang saling bertemu tiap ujungnya. Yang saling berhubungan, tapi sebenarnya, dua diantaranya saling berjauhan, meski saling bertautan.
Every time I see you falling
I get down on my knees and pray
I’m waiting for that final moment
You say the words that I can’t say
Inspired from My Boss